16.7.11

Janji
Seandainya foto dalam figura, mungkin hanya warnanya saja yang berubah jadi sephia atau kelabu, selebihnya masih tergambar dengan jelas. Begitulah Pak Kastro mengenang kejadian malam itu.
Elang, baru saja menanggalkan baju SMA-nya, keluar rumah dengan membanting pintu.
...
Suara pintu berdebam itu seperti lagu penutup film laga. Lalu seolah-olah ada yang me-rewind, satu demi satu peristiwa itu muncul dengan runtut.

"Saya cuma mau cari duit tambahan, Pak. Ini juga iseng."
"Kenapa tidak diomongin dulu?" Pak Kastro masih tampak sabar. Semarah-marahnya, dia selalu berusaha untuk tidak berteriak.
"Nggak bakal diijinin sama Bapak."
"Iya, karena ini nggak benar. Coba lihat, sampai jam segini kamu belum ganti seragam sekolah. Kamu bikin apa saja di luar itu?"
"Sekali seminggu saja, Pak. Malam Kamis doang..."
"Bukan soal sekali seminggunya, Nak. Yang kamu kerjakan ini sudah mulai nggak benar. Mau kamu kerjakan sambil baca dzikir pun Bapak tetap tidak bisa tolerir."
"Ini juga hukumnya belum jelas, Pak."
"Tahu dari mana? Dapat berapa pelajaran agamamu?"
"Saya cuma bantu rekap, Pak. Saya nggak sekalipun ikut masang. Koh Arman sudah kebanyakan pelanggan. Saya cuma datang ke kompleks-kompleks langganan Koh Arman, mereka pasang nomernya, terus saya bawa lagi ke Koh Arman. Kalo ada yang nomernya tembus, duitnya saya yang antarkan ke mereka. Koh Arman nggak bisa handle mereka semua, jadi saya bantuin..."
"Itu judi, Nak. Togel itu judi."
"Kan saya bilang saya nggak ikut masang..."
"Kamu jadi perantara. Itu sama saja."
Elang sudah mulai kehilangan kesabaran, tapi orangtua di depannya itu masih tetap tak berubah raut wajahnya.
"Begini, Pak, kalau misalnya saya sopir angkot, terus ada orang yang naik ke angkot saya. Terus saya tahu dia mau ke Koh Arman beli togel. Apa perlu saya larang dia naik angkot saya?"
"Itu lain soal."
"Sama saja. Sama-sama perantara kalau kata Bapak."
Pak Kastro terdiam. Bocah di depannya ini sudah tumbuh besar. Sudah bisa membantah.

"Bapak bukan ahli agama, Nak, tapi kalau yang seperti ini seharusnya tidak ada perdebatan lagi. Kita sudah sepakat, sebisa mungkin kita menghalangi barang haram masuk ke rumah ini. Di rumah ini selain kita ada ibumu dan adikmu Rara. Kalau ibu tahu, dia pasti akan sedih."
"Saya cuma mau ngumpulin duit buat nambah-nambah beli motor."
"Ibumu tidak seperti Bapak, Nak. Pikirannya lurus-lurus saja. Beda sama bapak. Bapak tidak perlu waktu lama untuk tahu kamu bikin apa saja."
"Ini bukan kerjaan haram, Pak..."
"Kalau menurutmu tidak haram, kasih tahulah ke ibumu."

Elang diam. Lalu begitulah akhirnya hingga suara pintu dibanting itu muncul.

Sepeninggal Elang, Pak Kastro menyeka sudut matanya. Ada air bening yang tanpa disadarinya merembes turun.
Waktu kecil dulu, Elang terlambat bicara. Tak seperti anak-anak seusianya, hingga umurnya lewat satu tahun, tak satu pun kata yang terdengar dari mulutnya. Pak Kastro sudah memeriksakan Elang ke dokter, tapi penyebabnya belum diketahui. Hingga pada suatu malam, Elang terbangun dari tidurnya, menangis dan berteriak "Mama!".
Pak Kastro senang bukan main, dan setelah itu dia berjanji, tak akan pernah memarahi Elang untuk setiap apa pun yang dikatakannya. Dan malam ini, janji itu terasa begitu berat untuk dipegangnya.

15.7.11

Bola Mati

Setiap kali berhadapan dengan urusan begini, Pak Kastro selalu melihat Elang dan Aurora berdiri di hadapannya. Memberi tanda.
Seperti kali ini. Ingin rasanya ia menyiramkan air dari gelas di tangannya ke dua orang tamu yang duduk di hadapannya itu. Andai ia tak menyadari siapa yang bersama mereka.
...
"Jadi begitu, Pak Kastro," Pak Saiful menutup penjelasannya. Sebelumnya dua orang tamu itu sudah menyampaikan sedikit maksudnya. Selebihnya dijelaskan panjang lebar oleh Pak Saiful.

Pak Kastro cukup kenal dua orang tamu itu, dan tanpa mereka susah payah menjelaskan pun Pak Kastro sudah tahu apa maunya. Ini bukan kali pertama mereka muncul di ruang kerja Pak Saiful, memasang muka manis dan menggadang-gadang sebuah tas yang mirip tas laptop.

Tapi kali ini, kesabaran Pak Kastro sudah hampir habis.
"Mohon maaf nih, Pak. Kalau bapak-bapak ini sudah tahu kondisinya hampir mustahil, kenapa juga masih ngotot?" tanya Pak Kastro.
Pak Saiful mendelik, tak menyangka pertanyaan itu muncul. Ini alamat buruk untuk kesuksesan tender.
"Ah, Pak Kastro, ini kan bukan pertama kalinya kita bekerja sama. Tak ada yang dirugikan sejauh ini." Salah satu tamu, yang berbaju kemeja putih dan celana jeans, mencoba tetap tenang. Andai kata ini sekolah, dia sudah duduk di bangku SMA dalam pengalaman berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Dia tahu dan hapal celah-celahnya.
"Eh, maksud saya, semua untung sejauh ini..." Dia meralat.
Pak Saiful tersenyum kecut.

"Ini proyek besar, Pak Kastro. Bukannya sombong, tapi memang cuma pihak kami yang bisa handle. Yang lain, saya tak bisa jamin."
"Betul." Pak Saiful menunjukkan dukungannya.
"Saya mengerti," kata Pak Kastro. Dia masih menahan diri untuk menunjukkan penentangannya. Bagaimanapun, Pak Saiful adalah atasannya di kantor ini.
"Kesiapan kami juga hampir maksimal, Pak."
Pak Kastro diam.
Tamu yang satunya lagi, yang bertugas memegang tas, membuat gestur mendekati meja.
"Lagipula, Bapak-bapak tahu, kami tak pernah mengecewakan..."
"Betul." Lagi-lagi Pak Saiful.
Pak Kastro masih diam. Bayangan Elang dan Aurora berkelabat di kepalanya. Sepanjang hidup, Pak Kastro berusaha bertahan memberi nafkah istri dan anaknya dari sumber yang jelas. Persoalan menjaga isi lemari dapur adalah hal yang sangat sakral di dalam keluarganya, tapi situasi semacam ini seringkali tak bisa dihindari.
Selama ini Pak Kastro bisa menghindar --setidaknya menutup mata-- namun kali ini posisinya terjepit. Dengan luwesnya, Pak Saiful bisa mengarahkan segala persetujuan proyek besar ini tergantung pada Pak Kastro.
"Kami prosedural, Pak." Si kemeja putih mulai kehilangan kesabaran. Ratusan juta bisa melayang kalau begini ceritanya.
"Tenang, Bapak-bapak..." Pak Saiful menengahi. Dia juga khawatir jatahnya melayang. "Pak Kastro pasti bisa memutuskan dengan bijak. Tarolah kita ini sedang bermain bola, dan Pak Kastro pasti tidak ingin bola mati di kakinya. Bukan begitu, Pak Kastro?"

Tas hitam itu sudah terletak di atas meja. Itulah dia benda yang kemudian hari mengubah hidup Pak Kastro.

10.7.11

Kelabu dan Tremor

"Bagi rokok, Bang,"
Pak Kastro nyaris terlonjak kaget. Pikirannya sedang terbang kemana-mana ketika dua anak muda itu tahu-tahu sudah berdiri di depan sel-nya.
"Abang.. Sopanlah sedikit! Bapak! " Yang berbadan kerempeng menoyor kepala temannya.
"Abanglah. Belum tua begitu abang ini," Anak muda berbadan agak tambun itu protes.
Pak Kastro tersenyum mendengar perdebatan kecil di depan selnya itu. Begitulah cara mereka saling mengenal. Biasanya bermula dari minta rokok, sambal, atau sabun.

"Saya punya anak segede kalian, tapi teman yang sepantaran kalian juga ada, jadi terserah mau memanggil apa."
Pak Kastro berdiri membuka pintu selnya. Ada bunyi derit panjang akibat besi saling beradu. Pada waktu-waktu tertentu sel mereka memang tidak digembok dan semua bebas saling mengunjungi. Bersosialisasi.

Setiap penjara memang punya aturannya sendiri-sendiri. Tapi yang pasti, ada aturan yang sama. Di lingkungan yang dikelilingi tembok ini mereka semua berusaha bertahan melawan sepi, berusaha membangun sistem sosial sendiri agar terhindar dari mati bosan.

"Masuk." Pak Kastro mempersilakan dua tamunya itu.
"Saya Kastro." Pak kastro mengulurkan tangannya.
"Katro?" Si anak muda tambun itu tampak heran.
"Kastro. Seperti Fidel.. Fidel!" Pak Kastro berusaha menjelaskan ejaan namanya. "Nama kalian siapa?"
"Saya Faruq, Om." Si badan kerempeng akhirnya menemukan panggilan yang dianggapnya pantas. "Tiga lima lima."
"Saya Jusman, Om." Si badan tambun ikut-lkutan. "Biasa dipanggil Jems. Je-e-em-es."
"Pasal?" tanya Pak Kastro.
Jems mesem-mesem. Tak seperti Faruq yang menyebut pasal KUHP yang menyebabkannya ngendon di sini, Jems tampak ragu untuk menyebut.
"Pencabulan dia, Om." tahu-tahu Faruq yang menjawab. Jems kaget rahasianya terbongkar secepat itu. Meski badannya tambun, dia tampak lebih tidak berdaya dibanding Faruq. Tubuhnya juga lebih bersih, tak seperti Faruq yang penuh tato.
"Waktu masuk sini, tititnya bengkak, Om," Faruq menambahkan sambil tertawa. Dengan semangat dia bercerita bagaimana para narapidana kasus pemerkosaan dan pencabulan diberi penyambutan yang meriah oleh penghuni lama. Pemerkosa dan pencabul adalah kasta kejahatan yang paling rendah, yang paling hina. Pembunuh biasanya yang paling dihormati. Koruptor juga dihormati, namun lebih karena dianggap bisa menjadi sumber penghidupan bagi penghuni lainnya. Biasanya mereka ditempatkan di blok tersendiri, blok bernomor kecil kalau di penjara ini.
...
"Masih bagus dia nggak disodomi," Faruq masih melanjutkan sambil sesekali terkekeh.
"Enak di sini ya, Om?" Jems berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sama sajalah."
"Kamar punya sendiri sudah pasti enak..."
Pak Kastro tersenyum. Dua anak muda ini mengingatkannya pada Elang. Elang dengan kemarahan-kemarahannya yang terpendam.
Pak Kastro sebenarnya tidak sendirian menghuni sel ini. Teman selnya adalah seorang mantan pejabat yang kena kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran. Tapi kemarin tiba-tiba sang pejabat kena asma sehingga harus dibawa berobat keluar. Entah sampai berapa lama.

"Om korupsi apa?" Faruq bertanya tanpa sungkan. Hidup di penjara seperti ini mengajarkan mereka untuk tak perlu banyak berbasa-basi.
Pak Kastro terdiam, pertanyaan seperti ini selalu siap dihadapinya tapi tak pernah bisa dijawabnya dengan tuntas. Pak Kastro tahu pertanyaan itu akan muncul seperti dia tahu alasan dua anak muda ini mendatanginya. Blok tempatnya ini terletak agak jauh dari blok lain tempat para kriminal disimpan. Ada alasan tertentu mengapa mereka paling sering mendapat kunjungan silaturrahmi.

"Saya tidak korupsi."
"Lha? Terus kenapa bisa nyusruk di sini, Om?"
"Ada pertandingan bola. Harusnya saya biarkan saja bola itu mati di kaki saya..."

Lalu seperti film bisu, bayangan-bayangan pun berkelebat di kepalanya. Wajah atasan, staf, ruang kantor, wajah istrinya, Elang, Rara, bergantian muncul. Seperti film bisu: kelabu dan tremor.

1.7.11

Kabut

Bayangannya tersamar oleh kabut pagi. Hanya lampu belakang angkot yang ditumpanginya itu yang memberi sedikit penerangan warna merah pada perawakannya. Lalu kembali gelap tak lama setelah angkot itu meninggalkannya di tepi jalan. Dia membereskan carrier-nya, menguatkan strap dan memeriksa kemungkinan ada barang yang hilang atau tercecer. Titik-titik peluh mulai membasahi dahinya, mengalahkan hawa dingin subuh yang menyatu dengan nafasnya dan membentuk semacam uap. Di kejauhan, terdengar Syekh Mahmud Al Husairi melagukan salawat Tarhim yang biasa diputar mesjid-mesjid kampung sebelum adzan subuh.

Ash-shalatu was-salamu alâyk
Yâ Man asrâ bikal muhayminu laylan nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu

Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu.
Wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari. Dialah Yang Maha Melindungi.
Semoga Engkau memperoleh sesuatu dari-Nya yang tidak diterima oleh mereka yang sedang tidur...


Dia baru saja menyelesaikan urusan dengan carrier-nya ketika sudut matanya menangkap sesosok bayangan yang berjalan mendekat. Dia tak terkejut. Banyak penduduk desa di kaki gunung ini yang biasa keluar rumah di pagi gelap. Tapi langkah yang terantuk-antuk itu memberi tanda, sosok yang mendekat ini tak biasa berjalan di atas kerikil.

"Nong..."
"Jangan bilang kamu punya ilmu terbang ya."
Hanna meletakkan kembali carrier-nya.
"Aku nebeng pick-up sayur setelah angkot yang kamu tumpangi tadi."
"Kok tahu di sini?"
"Aku bilang sama sopir, minta diturunkan di pinggir jalan yang terdekat ke rumah Tata Andang. Tempat kalian biasa memulai pendakian."

Hanna nyengir. "Untung ketemu..." katanya.
"Kamu nggak bilang mau naik, Nong. Biasanya pamit."
"Ini cuma mau jenguk Tata Andang. Sudah lama tidak ketemu beliau. Sekalian bawa titipan teman-teman."
Hanna mengeluarkan sesuatu dari bagian depan carrier-nya.
"Apa itu?"
"Teropong."
"Buat siapa?"
"Kan tadi sudah saya bilang titipan buat Tata."
"Buat apa?"
"Ada-lah. Nanti saya cerita."

Hanna kembali bersiap-siap mengangkat carrier-nya. Namun segera dicegah Elang.
"Tukeran. kamu bawa daypack-ku saja." Elang menyerahkan ranselnya yang hanya berisi beberapa baju dan sedikit persediaan makanan. Jauh lebih ringan dibanding carrier 65 liter milik Hanna.
"Cuma mau ke tempat Tata kamu bawa segini banyak?" tanya Elang ketika dirasakannya carrier itu hampir menggeser sendi pinggangnya.

Hanna tertawa. "Buruan. Saya mau numpang shalat subuh di rumah warga di atas. Takut keburu pagi nih..."

Elang belum beranjak.
"Nong.."
"Apa lagi?"

Mereka terdiam.
"Apa?"
"Nggak. Cuma mau bilang, terima kasih sudah menemaniku sejauh ini. Nggak tahu gimana bentuknya hatiku kalau nggak ada kamu."

Pagi membeku. Elang merasakan dirinya masuk jauh ke dalam mata Hanna. Lalu tangan Hanna tiba-tiba sudah berada di antara mereka, menahan tubuh Elang agar tak lebih dekat.
Elang terkesiap, merasakan darahnya berdesir di bagian-bagian tubuh yang digempur dingin. Salah tingkah dia.
Hanna mengusap-usap telapak tangannya. Matanya mengerjap. Titik-titik peluh yang sejak tadi menghiasi wajahnya, disekanya dengan punggung tangan.
Hanna lalu menunjuk dahinya sendiri.
"Kalau berani, kamu boleh cium di sini, Lang." katanya.