16.7.11

Janji
Seandainya foto dalam figura, mungkin hanya warnanya saja yang berubah jadi sephia atau kelabu, selebihnya masih tergambar dengan jelas. Begitulah Pak Kastro mengenang kejadian malam itu.
Elang, baru saja menanggalkan baju SMA-nya, keluar rumah dengan membanting pintu.
...
Suara pintu berdebam itu seperti lagu penutup film laga. Lalu seolah-olah ada yang me-rewind, satu demi satu peristiwa itu muncul dengan runtut.

"Saya cuma mau cari duit tambahan, Pak. Ini juga iseng."
"Kenapa tidak diomongin dulu?" Pak Kastro masih tampak sabar. Semarah-marahnya, dia selalu berusaha untuk tidak berteriak.
"Nggak bakal diijinin sama Bapak."
"Iya, karena ini nggak benar. Coba lihat, sampai jam segini kamu belum ganti seragam sekolah. Kamu bikin apa saja di luar itu?"
"Sekali seminggu saja, Pak. Malam Kamis doang..."
"Bukan soal sekali seminggunya, Nak. Yang kamu kerjakan ini sudah mulai nggak benar. Mau kamu kerjakan sambil baca dzikir pun Bapak tetap tidak bisa tolerir."
"Ini juga hukumnya belum jelas, Pak."
"Tahu dari mana? Dapat berapa pelajaran agamamu?"
"Saya cuma bantu rekap, Pak. Saya nggak sekalipun ikut masang. Koh Arman sudah kebanyakan pelanggan. Saya cuma datang ke kompleks-kompleks langganan Koh Arman, mereka pasang nomernya, terus saya bawa lagi ke Koh Arman. Kalo ada yang nomernya tembus, duitnya saya yang antarkan ke mereka. Koh Arman nggak bisa handle mereka semua, jadi saya bantuin..."
"Itu judi, Nak. Togel itu judi."
"Kan saya bilang saya nggak ikut masang..."
"Kamu jadi perantara. Itu sama saja."
Elang sudah mulai kehilangan kesabaran, tapi orangtua di depannya itu masih tetap tak berubah raut wajahnya.
"Begini, Pak, kalau misalnya saya sopir angkot, terus ada orang yang naik ke angkot saya. Terus saya tahu dia mau ke Koh Arman beli togel. Apa perlu saya larang dia naik angkot saya?"
"Itu lain soal."
"Sama saja. Sama-sama perantara kalau kata Bapak."
Pak Kastro terdiam. Bocah di depannya ini sudah tumbuh besar. Sudah bisa membantah.

"Bapak bukan ahli agama, Nak, tapi kalau yang seperti ini seharusnya tidak ada perdebatan lagi. Kita sudah sepakat, sebisa mungkin kita menghalangi barang haram masuk ke rumah ini. Di rumah ini selain kita ada ibumu dan adikmu Rara. Kalau ibu tahu, dia pasti akan sedih."
"Saya cuma mau ngumpulin duit buat nambah-nambah beli motor."
"Ibumu tidak seperti Bapak, Nak. Pikirannya lurus-lurus saja. Beda sama bapak. Bapak tidak perlu waktu lama untuk tahu kamu bikin apa saja."
"Ini bukan kerjaan haram, Pak..."
"Kalau menurutmu tidak haram, kasih tahulah ke ibumu."

Elang diam. Lalu begitulah akhirnya hingga suara pintu dibanting itu muncul.

Sepeninggal Elang, Pak Kastro menyeka sudut matanya. Ada air bening yang tanpa disadarinya merembes turun.
Waktu kecil dulu, Elang terlambat bicara. Tak seperti anak-anak seusianya, hingga umurnya lewat satu tahun, tak satu pun kata yang terdengar dari mulutnya. Pak Kastro sudah memeriksakan Elang ke dokter, tapi penyebabnya belum diketahui. Hingga pada suatu malam, Elang terbangun dari tidurnya, menangis dan berteriak "Mama!".
Pak Kastro senang bukan main, dan setelah itu dia berjanji, tak akan pernah memarahi Elang untuk setiap apa pun yang dikatakannya. Dan malam ini, janji itu terasa begitu berat untuk dipegangnya.

15.7.11

Bola Mati

Setiap kali berhadapan dengan urusan begini, Pak Kastro selalu melihat Elang dan Aurora berdiri di hadapannya. Memberi tanda.
Seperti kali ini. Ingin rasanya ia menyiramkan air dari gelas di tangannya ke dua orang tamu yang duduk di hadapannya itu. Andai ia tak menyadari siapa yang bersama mereka.
...
"Jadi begitu, Pak Kastro," Pak Saiful menutup penjelasannya. Sebelumnya dua orang tamu itu sudah menyampaikan sedikit maksudnya. Selebihnya dijelaskan panjang lebar oleh Pak Saiful.

Pak Kastro cukup kenal dua orang tamu itu, dan tanpa mereka susah payah menjelaskan pun Pak Kastro sudah tahu apa maunya. Ini bukan kali pertama mereka muncul di ruang kerja Pak Saiful, memasang muka manis dan menggadang-gadang sebuah tas yang mirip tas laptop.

Tapi kali ini, kesabaran Pak Kastro sudah hampir habis.
"Mohon maaf nih, Pak. Kalau bapak-bapak ini sudah tahu kondisinya hampir mustahil, kenapa juga masih ngotot?" tanya Pak Kastro.
Pak Saiful mendelik, tak menyangka pertanyaan itu muncul. Ini alamat buruk untuk kesuksesan tender.
"Ah, Pak Kastro, ini kan bukan pertama kalinya kita bekerja sama. Tak ada yang dirugikan sejauh ini." Salah satu tamu, yang berbaju kemeja putih dan celana jeans, mencoba tetap tenang. Andai kata ini sekolah, dia sudah duduk di bangku SMA dalam pengalaman berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Dia tahu dan hapal celah-celahnya.
"Eh, maksud saya, semua untung sejauh ini..." Dia meralat.
Pak Saiful tersenyum kecut.

"Ini proyek besar, Pak Kastro. Bukannya sombong, tapi memang cuma pihak kami yang bisa handle. Yang lain, saya tak bisa jamin."
"Betul." Pak Saiful menunjukkan dukungannya.
"Saya mengerti," kata Pak Kastro. Dia masih menahan diri untuk menunjukkan penentangannya. Bagaimanapun, Pak Saiful adalah atasannya di kantor ini.
"Kesiapan kami juga hampir maksimal, Pak."
Pak Kastro diam.
Tamu yang satunya lagi, yang bertugas memegang tas, membuat gestur mendekati meja.
"Lagipula, Bapak-bapak tahu, kami tak pernah mengecewakan..."
"Betul." Lagi-lagi Pak Saiful.
Pak Kastro masih diam. Bayangan Elang dan Aurora berkelabat di kepalanya. Sepanjang hidup, Pak Kastro berusaha bertahan memberi nafkah istri dan anaknya dari sumber yang jelas. Persoalan menjaga isi lemari dapur adalah hal yang sangat sakral di dalam keluarganya, tapi situasi semacam ini seringkali tak bisa dihindari.
Selama ini Pak Kastro bisa menghindar --setidaknya menutup mata-- namun kali ini posisinya terjepit. Dengan luwesnya, Pak Saiful bisa mengarahkan segala persetujuan proyek besar ini tergantung pada Pak Kastro.
"Kami prosedural, Pak." Si kemeja putih mulai kehilangan kesabaran. Ratusan juta bisa melayang kalau begini ceritanya.
"Tenang, Bapak-bapak..." Pak Saiful menengahi. Dia juga khawatir jatahnya melayang. "Pak Kastro pasti bisa memutuskan dengan bijak. Tarolah kita ini sedang bermain bola, dan Pak Kastro pasti tidak ingin bola mati di kakinya. Bukan begitu, Pak Kastro?"

Tas hitam itu sudah terletak di atas meja. Itulah dia benda yang kemudian hari mengubah hidup Pak Kastro.

10.7.11

Kelabu dan Tremor

"Bagi rokok, Bang,"
Pak Kastro nyaris terlonjak kaget. Pikirannya sedang terbang kemana-mana ketika dua anak muda itu tahu-tahu sudah berdiri di depan sel-nya.
"Abang.. Sopanlah sedikit! Bapak! " Yang berbadan kerempeng menoyor kepala temannya.
"Abanglah. Belum tua begitu abang ini," Anak muda berbadan agak tambun itu protes.
Pak Kastro tersenyum mendengar perdebatan kecil di depan selnya itu. Begitulah cara mereka saling mengenal. Biasanya bermula dari minta rokok, sambal, atau sabun.

"Saya punya anak segede kalian, tapi teman yang sepantaran kalian juga ada, jadi terserah mau memanggil apa."
Pak Kastro berdiri membuka pintu selnya. Ada bunyi derit panjang akibat besi saling beradu. Pada waktu-waktu tertentu sel mereka memang tidak digembok dan semua bebas saling mengunjungi. Bersosialisasi.

Setiap penjara memang punya aturannya sendiri-sendiri. Tapi yang pasti, ada aturan yang sama. Di lingkungan yang dikelilingi tembok ini mereka semua berusaha bertahan melawan sepi, berusaha membangun sistem sosial sendiri agar terhindar dari mati bosan.

"Masuk." Pak Kastro mempersilakan dua tamunya itu.
"Saya Kastro." Pak kastro mengulurkan tangannya.
"Katro?" Si anak muda tambun itu tampak heran.
"Kastro. Seperti Fidel.. Fidel!" Pak Kastro berusaha menjelaskan ejaan namanya. "Nama kalian siapa?"
"Saya Faruq, Om." Si badan kerempeng akhirnya menemukan panggilan yang dianggapnya pantas. "Tiga lima lima."
"Saya Jusman, Om." Si badan tambun ikut-lkutan. "Biasa dipanggil Jems. Je-e-em-es."
"Pasal?" tanya Pak Kastro.
Jems mesem-mesem. Tak seperti Faruq yang menyebut pasal KUHP yang menyebabkannya ngendon di sini, Jems tampak ragu untuk menyebut.
"Pencabulan dia, Om." tahu-tahu Faruq yang menjawab. Jems kaget rahasianya terbongkar secepat itu. Meski badannya tambun, dia tampak lebih tidak berdaya dibanding Faruq. Tubuhnya juga lebih bersih, tak seperti Faruq yang penuh tato.
"Waktu masuk sini, tititnya bengkak, Om," Faruq menambahkan sambil tertawa. Dengan semangat dia bercerita bagaimana para narapidana kasus pemerkosaan dan pencabulan diberi penyambutan yang meriah oleh penghuni lama. Pemerkosa dan pencabul adalah kasta kejahatan yang paling rendah, yang paling hina. Pembunuh biasanya yang paling dihormati. Koruptor juga dihormati, namun lebih karena dianggap bisa menjadi sumber penghidupan bagi penghuni lainnya. Biasanya mereka ditempatkan di blok tersendiri, blok bernomor kecil kalau di penjara ini.
...
"Masih bagus dia nggak disodomi," Faruq masih melanjutkan sambil sesekali terkekeh.
"Enak di sini ya, Om?" Jems berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sama sajalah."
"Kamar punya sendiri sudah pasti enak..."
Pak Kastro tersenyum. Dua anak muda ini mengingatkannya pada Elang. Elang dengan kemarahan-kemarahannya yang terpendam.
Pak Kastro sebenarnya tidak sendirian menghuni sel ini. Teman selnya adalah seorang mantan pejabat yang kena kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran. Tapi kemarin tiba-tiba sang pejabat kena asma sehingga harus dibawa berobat keluar. Entah sampai berapa lama.

"Om korupsi apa?" Faruq bertanya tanpa sungkan. Hidup di penjara seperti ini mengajarkan mereka untuk tak perlu banyak berbasa-basi.
Pak Kastro terdiam, pertanyaan seperti ini selalu siap dihadapinya tapi tak pernah bisa dijawabnya dengan tuntas. Pak Kastro tahu pertanyaan itu akan muncul seperti dia tahu alasan dua anak muda ini mendatanginya. Blok tempatnya ini terletak agak jauh dari blok lain tempat para kriminal disimpan. Ada alasan tertentu mengapa mereka paling sering mendapat kunjungan silaturrahmi.

"Saya tidak korupsi."
"Lha? Terus kenapa bisa nyusruk di sini, Om?"
"Ada pertandingan bola. Harusnya saya biarkan saja bola itu mati di kaki saya..."

Lalu seperti film bisu, bayangan-bayangan pun berkelebat di kepalanya. Wajah atasan, staf, ruang kantor, wajah istrinya, Elang, Rara, bergantian muncul. Seperti film bisu: kelabu dan tremor.

1.7.11

Kabut

Bayangannya tersamar oleh kabut pagi. Hanya lampu belakang angkot yang ditumpanginya itu yang memberi sedikit penerangan warna merah pada perawakannya. Lalu kembali gelap tak lama setelah angkot itu meninggalkannya di tepi jalan. Dia membereskan carrier-nya, menguatkan strap dan memeriksa kemungkinan ada barang yang hilang atau tercecer. Titik-titik peluh mulai membasahi dahinya, mengalahkan hawa dingin subuh yang menyatu dengan nafasnya dan membentuk semacam uap. Di kejauhan, terdengar Syekh Mahmud Al Husairi melagukan salawat Tarhim yang biasa diputar mesjid-mesjid kampung sebelum adzan subuh.

Ash-shalatu was-salamu alâyk
Yâ Man asrâ bikal muhayminu laylan nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu

Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu.
Wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari. Dialah Yang Maha Melindungi.
Semoga Engkau memperoleh sesuatu dari-Nya yang tidak diterima oleh mereka yang sedang tidur...


Dia baru saja menyelesaikan urusan dengan carrier-nya ketika sudut matanya menangkap sesosok bayangan yang berjalan mendekat. Dia tak terkejut. Banyak penduduk desa di kaki gunung ini yang biasa keluar rumah di pagi gelap. Tapi langkah yang terantuk-antuk itu memberi tanda, sosok yang mendekat ini tak biasa berjalan di atas kerikil.

"Nong..."
"Jangan bilang kamu punya ilmu terbang ya."
Hanna meletakkan kembali carrier-nya.
"Aku nebeng pick-up sayur setelah angkot yang kamu tumpangi tadi."
"Kok tahu di sini?"
"Aku bilang sama sopir, minta diturunkan di pinggir jalan yang terdekat ke rumah Tata Andang. Tempat kalian biasa memulai pendakian."

Hanna nyengir. "Untung ketemu..." katanya.
"Kamu nggak bilang mau naik, Nong. Biasanya pamit."
"Ini cuma mau jenguk Tata Andang. Sudah lama tidak ketemu beliau. Sekalian bawa titipan teman-teman."
Hanna mengeluarkan sesuatu dari bagian depan carrier-nya.
"Apa itu?"
"Teropong."
"Buat siapa?"
"Kan tadi sudah saya bilang titipan buat Tata."
"Buat apa?"
"Ada-lah. Nanti saya cerita."

Hanna kembali bersiap-siap mengangkat carrier-nya. Namun segera dicegah Elang.
"Tukeran. kamu bawa daypack-ku saja." Elang menyerahkan ranselnya yang hanya berisi beberapa baju dan sedikit persediaan makanan. Jauh lebih ringan dibanding carrier 65 liter milik Hanna.
"Cuma mau ke tempat Tata kamu bawa segini banyak?" tanya Elang ketika dirasakannya carrier itu hampir menggeser sendi pinggangnya.

Hanna tertawa. "Buruan. Saya mau numpang shalat subuh di rumah warga di atas. Takut keburu pagi nih..."

Elang belum beranjak.
"Nong.."
"Apa lagi?"

Mereka terdiam.
"Apa?"
"Nggak. Cuma mau bilang, terima kasih sudah menemaniku sejauh ini. Nggak tahu gimana bentuknya hatiku kalau nggak ada kamu."

Pagi membeku. Elang merasakan dirinya masuk jauh ke dalam mata Hanna. Lalu tangan Hanna tiba-tiba sudah berada di antara mereka, menahan tubuh Elang agar tak lebih dekat.
Elang terkesiap, merasakan darahnya berdesir di bagian-bagian tubuh yang digempur dingin. Salah tingkah dia.
Hanna mengusap-usap telapak tangannya. Matanya mengerjap. Titik-titik peluh yang sejak tadi menghiasi wajahnya, disekanya dengan punggung tangan.
Hanna lalu menunjuk dahinya sendiri.
"Kalau berani, kamu boleh cium di sini, Lang." katanya.

30.6.11

Forever Young

Tanpa menunggu Elang lebih dekat, Pak Kastro segera menghampiri Elang. Tangannya dengan cepat melingkari pundak anak sulungnya itu. Matanya berkaca-kaca.
"Bapak sehat?" Suara Elang bergetar. Ada yang nyaris meledak di dadanya.
"Alhamdulillah, sehat. Bapak baik di sini. Sama siapa?"

Elang memutar badannya sedikit, memberi kesempatan kepada Pak Kastro melihat melewati badannya. Hanna tampak berdiri di dekat kursi panjang tak jauh dari pintu masuk.
Elang lalu memberi isyarat kepada Hanna untuk mendekat.

"Apa kabar, Om?" Hanna berbasa-basi. Pak Kastro tersenyum. Hanna sudah cukup akrab dengannya. Beberapa kali Hanna berkunjung ke rumah mereka. Kadang-kadang malah Pak Kastro ikut-ikutan memanggil Hanna dengan Nong.

"Enak makanan penjara, Pak?" tanya Elang.
"Lebih enak daripada di polisi. Di sini kita punya juru masak sendiri," Pak Kastro menjelaskan dengan mata berbinar, gagal menangkap sinisme di pertanyaan Elang itu. Pak Kastro terlalu gembira melihat Elang akhirnya mau datang membesuknya.

"Ibumu apa kabar?"
"Baik. Bukannya kemarin nelpon?"
"Tiga hari lalu. Kemarin wartelnya rusak. Ada yang banting gagang telepon. Kuliahmu lancar?"
"Lancar, Pak. Tapi tidak semua..."
"Apa yang tidak lancar?"
Elang menggeleng. Dia merasa tak perlu menceritakan bagaimana kini teman-temannya di kampus memperlakukan dirinya.
"Bertahanlah. Ini pasti akan berlalu."
Elang tertawa sinis. "Kayak lagu, Pak..."
Lalu keduanya diam, berusaha menyelami perasaan masing-masing.

Pak Kastro memandangi Elang lekat-lekat. Anak muda ini. Waktu kecil, dia tak pernah mengajari Elang lagu anak-anak. Yang diajarkannya adalah lagu-lagu orang dewasa semacam John Denver atau Bob Dylan.

Yang paling sering dinyanyikannya adalah Forever Young. Pada sore atau malam-malam tertentu, di taman belakang rumah mereka, Pak Kastro akan memainkan lagu ini dengan ilmu gitar dan suaranya yang pas-pasan. Elang dan Aurora duduk manis mendengarkan, sambil menunggu ibu membawa minuman dan kue-kue.

May your hands always be busy
May your feet always be swift
May you have a strong foundation
When the winds of changes shift
May your heart always be joyful
And may your song always be sung
May you stay forever young
Forever young, forever young
May you stay forever young.


"Ibu nggak tahu saya ke sini, Pak. Saya nggak bilang."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Ibu tahunya saya nggak akan mau jenguk Bapak."
"Lha ini kamu datang..."
"Nong yang ngajak saya ke sini, Pak."
"Kenapa kamu mau?"
Elang diam. Matanya memerah. Selaput cair di matanya mulai bekerja. Salah-salah kata dia bisa benar-benar menangis kali ini. Tapi ditahannya.

"Saya rindu, Bapak," katanya.
Dalam hati.

Dua lelaki beda generasi itu lalu sama-sama membuang muka, mencoba mencari distraksi. Tapi hanya ada ruang kosong. Tak ada apa-apa di halaman ruang besuk itu. Matahari sedang lucu-lucunya. Para narapidana lebih memilih mendekam di sel masing-masing atau tidur-tiduran di mushalla.

"Sepi jam segini, Pak?" tanya Elang memecah kebisuan.
"Masih di dalam semua, biasanya setelah dhuhur atau menjelang azar baru ramai."
"Bapak sudah bikin prakarya apa?" Elang teringat pernah melihat di sebuah stand pameran kerajinan yang memamerkan hasil karya para narapidana. Ada boneka, lukisan, keset...
"Belum. Yang bikin begitu biasanya warga binaan. Bapak kan masih baru." Nada suara Pak Kastro bergetar ketika menyebut kata 'baru'. 'Baru' berarti akan ada 'lama'. Dan membayangkannya saja sudah membuat dadanya sesak.
"Bapak tiap hari kerjanya main pingpong saja di sini," Pak Kastro melanjutkan, mencoba melucu. "Lawan Bapak sekarang belum tentu kamu bisa menang."

Elang hanya meringis. Dipandanginya lekat-lekat wajah orangtua di hadapannya itu. Ada yang tidak berubah. Dia masih selalu ingin tampil ceria dan bahagia di hadapan anak-anaknya, betapapun hidup sudah mempermainkannya sedemikian goncang. Elang meyakinkan dirinya, ini masih orang yang sama yang mengajarkannya lagu "Forever Young" itu.

"Boleh bawa gitar ke sini, Pak?"
"Boleh. Kenapa"
"Saya mau bawakan gitar. Minggu depan, mungkin. Biar Bapak ada hiburan."
"Gitar siapa?"
"Punya saya yang di rumah, jarang dipakai juga."
"Tak usah. Di sini juga ada. Nanti malah hilang. Di sini sudah punya barang pribadi..."

Percakapan mereka terhenti karena seorang petugas melongok di pintu ruangan. Mungkin tugasnya memeriksa atau mengingatkan bila waktu besuk sudah hampir habis. Tapi dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya menegur Hanna yang sedang duduk membaca buku di kursi panjang di depan ruangan. Petugas itu tampak menanyakan sesuatu kepada Hanna, dan Hanna memberi tanda bahwa ia bersama dengan anak muda yang sedang berbicara dengan salah satu penghuni tahanan itu. Petugas itu tampak mengangguk-angguk lalu beranjak pergi.

"Kenapa, Nong?" tanya Elang.
"Nggak apa-apa, cuma ditanyain ngapain saya di sini," kata Hanna.
"Kamu ke sini saja, Nong. Jangan di situ. Kamu di tempat macan yang lama nggak lihat betina."
Hanna tertawa.
"Nggak apa-apa. Di sini saja, adem..."

"Setelah dari sini mau kemana lagi?" tanya Pak Kastro. Dia melirik jam di dinding, harusnya jam besuk sudah berakhir. Petugas itu mungkin membiarkannya beberapa lama karena dipikirnya ini bukan jenis penjahat yang berbahaya. Mereka tidak tampak seperti dua orang yang ingin menyelundupkan narkotika atau merencanakan pelarian. Mereka hanya dua ayah beranak yang susah payah saling mengenali lagi.


"Paling balik ke kampus lagi, Nong mau latihan manjat."
Pak Kastro mengangguk pelan.
"Maafkan Bapak, Lang." katanya tiba-tiba. "Bapak sudah bikin kamu kecewa..."
"Nggak apa-apa, Pak. Seperti kata Bapak, ini cuma badai kan?"
"Iya, ini badai."
"Tapi boleh tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Dari kapan Bapak ngasih kami makan dari duit begituan?"
Pak Kastro tersentak. Dia tidak mengharapkan pertanyaan itu. Setidaknya tidak di tempat ini. Tapi Pak Kastro berusaha tetap tenang. Banyak hal memalukan yang telah dialaminya, dan pertanyaan ini tidak lebih buruk dari itu. Pak Kastro juga tak berusaha membela diri bahwa dirinya hanyalah korban dari sebuah sistem yang rusak.
"Sini, Nak." Pak Kastro mengajak Elang duduk di sampingnya, tapi Elang tak bergerak.
"Bapak mau cerita sesuatu, datanglah lagi minggu depan."

28.6.11

Karabiner

”Minggir dikit, Om!”
Hanna memberi tanda agar Elang berpindah tempat. Elang hanya menggeser sedikit kakinya, memberi ruang bagi Hanna untuk mengurai tali yang belum sempat digulungnya.
”Bisa kena set aku ntar,” kata Hanna lagi. Kena set artinya dihukum karena lalai menjaga alat, atau membiarkan alat tak terurus. Satu set biasanya terdiri dari 20 kali push up ditambah 20 kali pull up.
Alat yang mereka pegang itu memang harus dijaga baik-baik. Untuk seorang pemanjat seperti Hanna dan teman-temannya di kelompok pecinta alam, tali bisa berarti nyawa. Banyak kejadian di mana hidup mereka memang tergantung pada seutas tali. Itulah sebabnya, mereka memperlakukan tali, harness, atau karabiner seolah-olah belahan jiwa.

Elang mendongak. Agak jauh di atas kepalanya, seorang perempuan tampak menempel di dinding panjat.
”Itu siapa?” tanya Elang.
”Rina,” Hanna menjawab tanpa melihat. Dia sudah tahu siapa yang terakhir memanjat dinding buatan itu. ”Persiapan pemanjatan tebing di Toraja.”

Elang tiba-tiba melambaikan tangannya. Rina yang kebetulan melihat ke bawah, tersenyum kepadanya. Meski bukan bagian dari mereka, Elang cukup dikenal di kalangan teman-teman Hanna.
”Ganteng gak aku kelihatan dari situ?” teriak Elang. Rina tak menjawab, hanya suara tawanya yang terdengar sampai ke bawah. Dia harus berkonsentrasi pada point-point lintasan panjat yang akan dilaluinya.

”Sampai jam berapa latihannya, Nong?” Elang kembali memperhatikan Hanna menyelesaikan pekerjaannya. Hanna tidak segera menjawab, masih ada beberapa meter lagi tali yang belum tergulung dengan baik.
”Sampai malam?” tanya Elang lagi.
”Huff! Beres sudah!” Hanna memasukkan tali yang sudah digulungnya itu ke dalam semacam kotak plastik. Sebuah kotak hitam besar bergambar burung Pelican digesernya dan kemudian ditumpuk di atas kotak tempat tali tadi.
”Aku belum tahu, Lang. Mereka sih pasti sampai malam. Aku maunya pulang sore. Mama minta ditemani bikin kue.”
”Ooo..”
”Kenapa gitu?”
”Gak apa-apa.”
”Mau jalan?”
Elang diam. Kepalanya malah kembali mendongak ke atas. Rina sebentar lagi mencapai titik tertinggi di dinding fiberglass itu. Di bawah, Dodi yang jadi belayer-nya, bersiaga. Dia harus segera sigap menarik tali bila Rina memberi tanda.
Elang bukan pemanjat tebing, bukan pula pecinta alam. Namun dia selalu senang berada di antara Hanna dan kawan-kawannya. Banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka. Rina dan Dodi ini misalnya menunjukkan arti saling percaya. Dua orang yang saling mempercayakan keselamatan masing-masing.

”Aku nggak harus pulang kok, Lang. Kalau kamu butuh teman, aku temenin.”
”Gak usah, Nong.”
Hanna melirik Elang dengan sudut matanya. Jelas ada yang berubah pada diri laki-laki itu. Hanna tak tahu apa yang dirasakan Elang, tapi yang pasti dia bisa melihat Elang tampak lebih kurus. Mukanya tirus.
”Masih soal bapakmu?” akhirnya Hanna memberanikan diri bertanya, meski dia sudah tahu jawabannya.
”Harus aku jawab?” Elang malah balik bertanya.
Hanna menjentikkan sisa bubuk magnesium di ujung jarinya ke wajah Elang. Bubuk magnesium itu biasa dipakai para pemanjat agar tangan tetap kering selama pemanjatan. Elang mendengus seperti banteng spanyol.

Setengah jam kemudian, mereka sudah duduk berdampingan di undakan tangga batu di samping gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Dari situ mereka bisa mengamati teman-teman lain yang melanjutkan latihan pemanjatan.
Hanna menggeser duduknya agak menjauhi Elang. Bagian depan bajunya dia tarik-tarik untuk membiarkan udara leluasa masuk.
”Tak usaha jauh-jauh dong duduknya!” Elang menarik tangan Hanna.
”Gak enak aku nih. Keringetan...”
”Gak apa-apa. Aku suka kok bau keringatmu. Asem tapi penuh energi.”
”Kampret! Kau pikir aku air aki!” Hanna memaki, tapi tak urung rona wajahnya berubah.
...
”Kamu sudah pernah ke Pantai Gading?” tanya Hanna tiba-tiba.
”Aku gak suka pantai?” kata Elang.
”Itu nama negara, Bodoh!” Hanna berseru, hampir tertawa.
Elang meringis. Dia tahu itu nama negara di Afrika yang sering terlibat perang saudara, tapi pikirannya yang kacau membuatnya tak memahami pertanyaan Hanna.
”Belum. Ngapaian juga aku ke sana? Tak ada saudara...”
”Kalau begitu, berhentilah menganggap nasibmu paling menderita.”
...
”Susah jadi aku sekarang, Nong. Seperti terperangkap dalam sesuatu yang kamu tak mau ada di dalamnya.”
”Ngomongmu disederhanakanlah supaya aku ngerti, Lang.”
”Aku belum menemukan alasan untuk memaklumi keadaan sekarang ini.”
”Jangan dipaksa. Nanti juga ketemu...”
”Bapak, Nong. Tak ikhlas rasanya kehilangan dia dengan cara seperti ini.”
”Kamu ngomong seperti bapakmu sudah meninggal saja...”
Elang diam. Napasnya tertahan sejenak. Di dinding panjat itu ada seorang pemanjat yang hampir mencapai titik tertinggi.
”Siapa itu?” tanya Elang.
Hanna tidak langsung menjawab, dia merogoh kantong samping celana kargonya dan mengeluarkan kacamata dari situ. Kacamata baru.
”Saiful. Kamu sudah jenguk bapakmu?”
”Sekali doang.”
”Rajin-rajinlah.”
”Bisa bikin pandai, gitu?” Elang tertawa sinis.
Kastro Suratman

Pagi yang cerah. Halaman Lembaga Pemasyarakatan cukup ramai hari ini. Ada yang memainkan sabit, menebas alang-alang dan rerumputan yang mulai memanjang. Sebagian lagi mengepel. Kecuali yang beruntung mendapat kunjungan keluarga, semua narapidana bekerja bakti pagi ini.
Oh, tidak semua. Ada yang berpura-pura. Dua orang narapidana tampak mengobrol sambil jongkok di depan gundukan kecil sampah yang mulai terbakar. Agar tampak seperti bekerja, mereka sesekali membolak-balik gundukan sampah, seolah-olah menjaga agar api tetap menyala.
Tiba-tiba Jono, salah seorang narapidana penjaga api tadi, berdiri.
“Ada orang baru, Fik!”
Rofik juga ikut berdiri. Matanya mencari-cari arah yang ditunjukkan Jono. Tak butuh waktu lama untuk melihat apa dimaksud Jono.
Di ruangan seberang, terhalang oleh pagar kawat, seorang pria tampak berjalan diapit oleh dua petugas.
“Ditaruh di mana ya?” Rofik bertanya sekenanya.
“Di nomer kecil, kayaknya.”
“Tahu dari mana?”
“Perutnya itu. Tidak ada maling ayam yang punya perut sesejahtera itu.”
”Terlalu mulus juga buat jadi garong.”
”Koruptor?”
“Bisa jadi.” Jono mangut-manggut.
“Selain itu, apa kira-kira?”
”Menggarap babu sendiri, mungkin.”

Melewati gedung pembinaan, Kastro Suratman dan dua petugas itu menghilang dari pandangan. Dia dibawa masuk ke salah satu ruangan di ujung koridor. Di situ, kepala penjara sudah menunggunya untuk memberi wejangan. Sebagai penghuni baru, banyak hal yang harus diketahui oleh Kastro Suratman. Banyak aturan-aturan formal sebagaimana ditetapkan oleh direktorat jenderal.

Jika semuanya lancar, dalam beberapa hari Pak Kastro akan bergabung dengan teman-teman barunya. Tapi untuk sementara, Pak Kastro akan ditempatkan di blok Mapeling atau Masa Pengenalan Lingkungan. Di blok ini, Pak Kastro akan belajar tentang apa yang boleh dan tidak boleh, yang dilarang tapi boleh dilanggar, dan yang benar-benar dilarang. Lingkungan ini sangat asing bagi Pak Kastro. Dalam mimpi buruknya sekali pun, tak pernah dia membayangkan bisa berada di tempat ini.

Setengah abad menginjak bumi, mungkin inilah fase hidup terberat yang harus dia lalui. Persidangan panjang dan melelahkan itu akhirnya hanya memberi pukulan telak baginya. 15 bulan memang tidak lama, apalagi sudah dilaluinya 4 bulan di tahanan polisi. Tinggal 11 bulan lagi. Tapi itupun sudah cukup untuk menghancurkan harga dirinya. Menghancurkan kepercayaan dan penghormatan yang sudah setengah mati dia bangun.

Namun kehilangan kepercayaan dari anak-anaknyalah yang membuat hatinya hancur. Terutama Elang. Entah darimana dia belajar, tapi Elang bisa dengan terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaannya. Seperti bukan seorang anak yang pernah dia lepaskan melaju di atas sepeda, tak lama setelah roda bantunya ditanggalkan. Saat itu, Elang begitu percaya padanya.
”Jangan dilepas ya, Pak. Jangan dilepas!” begitu teriak Elang kecil, terbayang-bayang di kepalanya.
Tapi toh dia harus melepaskannya, atau Elang tak pernah benar-benar bisa mengendarai sepeda.
Dan kini Pak Kastro harus kembali mengalaminya. Dia harus lepas tangan atas kepercayaan yang Elang berikan. Dengan cara yang pedih.
Terakhir mereka ngobrol, Elang sempat bilang, ”Ternyata Bapak tidak sehebat yang saya bayangkan.”
Di mata Elang, orang yang tidak jujur sama sekali tidak hebat.
Teleskop

Semua gara-gara Mas Surya. Suatu hari, orang yang dituakan di kantor itu datang membawa bungkusan besar. Lalu dengan rasa percaya diri yang menyerupai seorang jagal hewan, Mas Surya menguliti bungkusannya di depan anak-anak buahnya. Semua tak sabar ingin tahu apa lagi yang dibawa sang bos kali ini.
“Sepuluh juta saja!” katanya bangga.
Elang, Rauf, Anta, dan Oji melongo bersamaan.
”Bisa lihat apa pake ini, Mas?” Elang mengusap-usap benda sepanjang hampir satu meter itu.
Merasa ditantang, Mas Surya dengan cekatan merangkai satu per satu bagian teleskop itu.
“Lo pasang di sini ya,” Mas Surya mengarahkan teleskopnya ke luar gedung, lalu mengetuk-ngetuk kaki-kakinya untuk memastikan semuanya sudah terpasang kuat.
“..lo bisa lihat CD sekretaris direktur Ravalindo di sono tuh!”
“CD pelem, Mas?” Rauf bertanya dengan lugunya.
”CD pala lo peyang! CD ini, Bodoh!” Mas Surya menunjuk ke arah resleting celananya. Rauf nyengir kuda. Yang lain tertawa.
Akhirnya keempat anak muda itu bergiliran mencoba teleskop milik Mas Surya.
“Iye, bener... kelihatan dari sini,” kata Rauf tanpa mengangkat kepalanya dari viewfinder teleskop.
“Gantian, Bro! Sama-sama gratis ini...” Anta sudah tidak sabar.
“Sabar dong!” Rauf menepis tangan Anta yang mencoleknya.
”Gue lagi nyari ruangan sekretarisnya.”
Lagi-lagi semua tertawa.
”Jangan rebutan, Ucrit!” Merasa dipanggil Ucrit, keempat anak muda itu langsung tertib.
”Jangan rebutan. Ini gue tinggal di sini kok sampai besok. Males gue pulang nenteng berat-berat. Kalian silakan pakai sepuasnya. Tapi jangan disalahgunakan. Barang ini gue beli buat kepentingan umat, jangan dinodai...”
Oji tertawa. ”Buat dakwah juga ya, Mas?” tanyanya.
”Iya. Buat dakwah juga.”
Dan semua kembali tertawa. Di telinga empat anak muda itu, kata dakwah jadi terdengar lucu bila diucapkan oleh Mas Surya.

Dan besok yang disebut Mas Surya itu tidak terjadi. Setidaknya belum. Hingga seminggu kemudian, teleskop itu masih berdiri tegak di sudut ruangan. Pelan-pelan, seisi kantor mulai melupakan bahwa benda itu ada di situ. Termasuk Mas Surya yang memang sering melupakan barang-barang yang dia punyai. Menyangkut tabiat yang satu itu, Elang juga pernah merasakan faedahnya. Lensa 70-300 milik Mas Surya masih ada di tangannya dan tak pernah ditagih meski telah hampir setahun Elang meminjamnya.

Suatu sore, setelah rapat evaluasi mingguan berakhir, Elang tinggal sendiri di kantor. Rauf bersama Oji berangkat ke Bogor. Anta sudah pulang duluan, tadi dia minta izin ingin menengok adiknya yang kena DB. Dan Mas Surya, seperti biasa, segera menghilang setelah rapat selesai. Pekerjaan ini menuntutnya untuk bertemu banyak orang.
Tak tahu ingin melakukan apa lagi, tahu-tahu Elang sudah berada di belakang teleskop milik Mas Surya itu. Benda itu mulai berdebu setelah sekian hari tidak tersentuh. Elang lalu membersihkannya dengan ujung kain gorden yang menjuntai.
Iseng dia berpikir untuk mengamati orang-orang yang terjebak macet di jalan di bawahnya.
Elang sedang mengarahkan teleskopnya ke sembarang arah saat tiba-tiba matanya menangkap gambar yang membuatnya tersentak. Seseorang tampak berada di atap sebuah gedung di kejauhan. Gedung Ravalindo!
Terburu-buru Elang mengatur pembesaran teleskopnya hingga maksimal. Dan saat gambar itu semakin jelas, Elang semakin dibuat terhenyak. Seorang perempuan, mungkin seumuran dia, tampak duduk menikmati secangkir minuman. Mungkin teh. Orang Inggris-kah dia? Begitu Elang bertanya dalam hati. Hanya orang Inggris yang melakukan cara berlebihan untuk menikmati teh di sore hari, pikirnya.
Berkat teleskop seharga sepuluh juta rupiah itu, Elang bisa memastikan bahwa perempuan yang dia lihat itu cukup cantik untuk ukuran gedung perkantoran Jakarta. Cara berpakaiannya juga menunjukkan kalau dia berkelas. Blus warna putih dipadu dengan bawahan entah coklat tua atau biru. Kakinya tak beralas, dibiarkan menjuntai ke tubir gedung.
Dan sejak itulah, Elang harus memikirkan berbagai alasan untuk tinggal di kantor pada sore hari.
Karen

Jakarta Selatan, Juli 2009
Sekuriti lantai 12 itu mengangguk hormat ketika seorang perempuan muda keluar dari elevator. Perempuan muda itu penumpang terakhir sejak penumpang lainnya berhenti di lantai 10. Sang sekuriti dengan cepat bisa mengenali sang perempuan dari langkahnya yang agak terseret. Dan selanjutnya, prosedur kerja mengharuskan dia berdiri dari kursinya dan sedikit membungkukkan badan.
”Belum pulang, Pak Setyo?” tanya Karen berbasa-basi.
”Belum, Bu.” Pria setengah baya itu menjawab sambil dengan sigap meninggalkan meja tempatnya bersiaga hampir seharian penuh.
Dia sudah tahu kebiasaan Karen. Setidaknya sekali dalam seminggu Karen akan muncul di lantai tempatnya bertugas pada jam-jam pulang kerja seperti ini. Pada jam ketika separuh isi kantor sudah berhamburan keluar dan menyemut di halte di depan gedung, Karen justru lebih sering berada di lantai yang terhubung dengan rooftop ini.
Pak Setyo menjajari langkah Karen yang pendek-pendek. Empat tahun bekerja di tempat ini, belum pernah sekalipun Pak Setyo berani menanyakan apa yang terjadi pada kaki Karen.
”Kapan-kapan Pak Setyo temenin saya ngopi di rooftop ya,” kata Karen.
”Siap! Eh.. apa, Bu?” Pak Setyo tidak benar-benar memahami ajakan Karen. Hanya karena kebiasaanlah sehingga dia menjawab siap.
”Kapan-kapan Pak Setyo temenin saya ke atas, kita ngopi bareng di atap.”
Karen mengulangi ajakannya. Yang dia sebut atap sebenarnya adalah sebuah bidang cukup lapang di bagian tertinggi gedung ini. Tempat puluhan antena dan neon sign logo perusahaan dipancangkan. Jika sedang butuh sendirian, Karen sering menjadikan tempat itu sebagai suaka. Dari tempat itu dia bisa melihat sebagian Jakarta yang tergesa-gesa, menonton orang-orang yang berjibaku di jalanan, berebut ingin tiba di rumah paling duluan.
Semua petinggi perusahaan sudah tahu dan memaklumi kebiasaan Karen. Pernah suatu kali, Pak Martoyo, sang direktur utama, menawarkan Karen ruangan baru di samping ruangannya. Tapi Karen menolak dengan halus.
”Terlalu dekat dengan matahari, Pak,” kata Karen berkelakar. Padahal alasan sebenarnya adalah dia tidak ingin menciptakan suasana yang tidak nyaman. Jika dia menerima tawaran itu, berarti dia adalah satu-satunya kepala departemen yang punya ruangan di lantai 12, sangat dekat dengan direktur utama. Sebuah kesempatan yang bagus untuk peningkatan karier, sebenarnya. Bukankah aturan tidak tertulis dalam perusahaan manapun adalah semakin dekat dirimu dengan pengambil keputusan maka semakin cemerlanglah senyummu pada hari gajian? Tapi Karen tidak suka yang seperti itu. Lagipula Karen tidak bisa menjamin, delapan orang kepala departemen lainnya yang berkantor di lantai 10 ke bawah itu tidak akan mempermasalahkan. Karen sendiri sehari-hari berkantor di lantai 8, mengepalai departemen promosi dan media relation.
Perusahaan tempat Karen bekerja adalah sebuah perusahaan penyedia konten media. Mereka memproduksi program-program acara lokal untuk ditayangkan di televisi-televisi luar negeri. Sesekali juga, stasiun televisi luar negeri yang tidak punya perwakilan di Indonesia memanfaatkan jasa perusahaan ini jika ingin mengadakan syuting di Indonesia. Bisa dibilang perusahaan ini adalah semacam rumah produksi namun dengan struktur organisasi yang lebih canggih. Mereka bermain global. Yang pasti, mereka tidak membuat sinetron kejar tayang.
Karen masih terhitung baru di PT. Ravalindo. Baru tiga tahun dia bekerja di tempat itu atas jasa seorang headhunter. Pak Martoyo sendiri yang menyewa headhunter itu untuk membujuk Karen agar pindah ke PT. Ravalindo. Sebelumnya Karen bekerja sebagai public relation di sebuah perusahaan makanan kemasan. Nama Karen naik daun setelah dia berhasil membersihkan nama perusahaan lamanya yang dituding menggunakan lemak babi dalam proses produksinya. Sukses itu membuat nama Karen masuk dalam jajaran top public relations. Belakangan, kiprahnya sudah nyaris menyerupai mitos. Konon, Karen sempat diincar oleh sebuah perusahaan minuman berkadar alkohol rendah, untuk membangun citra salah satu varian baru produk itu sebagai minuman yang halal ditenggak.
...
“Saya tinggal ya, Bu.” Pak Setyo pamit setelah mengantarkan Karen hingga ke pintu yang terhubung ke rooftop. Mereka sudah melewati sejumlah anak tangga sebelum sampai ke situ.
“Terima kasih, Pak.”
Pak Setyo mengangguk sopan.
“Dua jam lagi saya ganti giliran jaga. Kalau Bu Karen ada perlu, nanti ada Zainal yang menggantikan saya di bawah. Nanti saya bilang ke dia, kalau Bu Karen ada di sini, supaya pintunya tidak dikunci.”
”Terima kasih, Pak Setyo.”
”Sama-sama, Bu...”
”Saya nggak akan lama kok. Paling sejam juga sudah turun.”
”Siap, Bu..”
”Oya...” Karen tiba-tiba seperti mencari sesuatu dari dompetnya. ”Ini saya titip buat Reina sama Tomi ya, Pak. Alakadarnya saja, buat beli buku...”
”Eh, apa ini, Bu?” Pak Setyo tiba-tiba salah tingkah. Tangannya refleks membuat posisi seperti menolak. Tapi lembaran 100 ribuan yang terlipat itu sudah menempel di telapak tangannya.
Itulah yang membuatnya tak berhenti kagum pada Karen. Karen selalu penuh perhatian kepada karyawan-karyawan di bawahnya. Ini bukan pertama kali Karen memberikan sesuatu pada Reina dan Tomi. Reina, putri sulung Pak Setyo yang berusia 13 tahun itu pernah dia belikan jilbab. Waktu itu Pak Setyo tanpa sengaja bercerita kalau Reina ingin pakai jilbab. Dan besoknya, seperangkat baju muslimah untuk remaja sudah ada di dekat meja jaga Pak Setyo. Sedang Tomi, pernah mendapat hadiah bola dari Karen. Bola kaki bekas. Tapi Tomi senang bukan main, karena kata Karen bola itu bekas dipakai di salah satu pertandingan Liga Champion.
”Ada bekas kaki Ronaldo di sini nih,” kata Karen bergurau waktu itu.
...
”Terima kasih banyak, Bu.”
”Sama-sama, Pak.”
”Saya tinggal ya, Bu,” Pak Setyo benar-benar pamit kali ini.

Sepeninggal Pak Setyo, Karen segera menuju tempat tetirahannya. Ada celah di antara besi pembatas dan neon sign besar bertuliskan Ravalindo. Di situlah tempatnya biasa duduk, menikmati sore sambil sesekali ditemani ruap kopi Kalosi. Dia melemparkan pandangannya ke sebelah kiri. Jalan Tendean sedang padat-padatnya. Kendaraan mengular hingga ke perempatan Santa.
Ini sore yang tampak lebih kuning dari biasanya. Di negara tropis seperti Indonesia di mana matahari terbenam nyaris tegak lurus, golden moment seperti ini terjadi hanya beberapa menit setiap hari. Selebihnya adalah cahaya matahari yang pucat atau sekalian terik bukan main. Cahaya semacam inilah yang diburu para fotografer dan kameramen.
Karen tidak yakin apakah ini hanya perasaaannya saja, tapi sinar keemasan yang menerpa sisi barat gedung-gedung tinggi Jakarta itu kali ini tampak bertahan lebih lama dibanding hari-hari kemarin. Hari ini mungkin ada sesuatu yang terjadi. Karen ingat cerita yang sering dituturkan orang-orang tua di kampungnya dulu. Jika pada sore hari kau melihat seolah-olah semuanya berwarna kuning, berarti satu lagi anak setan sudah lahir.
Karen percaya setan itu ada, tapi dia tidak percaya setan bisa membuat sore jadi lebih kuning.
Ini juga hari yang tidak seperti hari-hari kemarin. Kali ini Karen benar-benar hanya ingin menikmati sore. Hari ini tak ada kiriman pesan pendek yang memintanya naik ke atap. Tapi tak urung matanya tetap menatap ke salah satu gedung tinggi jauh di seberang. Pada hari-hari tertentu, di lantai 14 gedung yang berjarak sekitar dua kilometer itu, ada seorang pria yang biasa duduk merapat ke kaca ruangan studionya. Karen mengharapkan lelaki itu ada di sana, duduk di belakang teleskop skywatcher-nya. Lalu tak lama kemudian, handphone Karen biasanya akan memberi tanda pesan singkat masuk.
Lo pake ijo ya?Hehehe.
Lalu Karen akan menulis balasan di handphonenya. Hanjeeeeng...
Dia memang mengenakan sesuatu yang berwarna hijau, tapi itu seharusnya tidak terlihat.
Begitulah sore yang biasa dia lalui. Tapi kali ini adalah sore yang sepi. Lelaki itu tak berkirim kabar. Dia sedang sibuk mencari Hanna.
Dia yang Kau Sebut Sahabat

Sore itu hujan terhambat turun. Dari tadi gerimis kecil itu tidak kunjung jadi besar. Bu Hamidah jadi menjenguk suaminya, Pak Kastro Suratman, di Lembaga Pemasyarakatan, ditemani Rara. Elang tidak ikut. Dia memilih tiduran. Tapi tentu saja tidak mudah terlelap bila kepala penuh badai.
Setelah lama berbaring dengan mata yang tak juga mau menutup, Elang bangkit, meraih jins dan kemeja yang tergantung di belakang pintu. Baju yang sama dia pakai tadi.
Setengah jam kemudian, dia sudah berada di atas angkot. Tak tahu mau kemana.
Elang mengeluarkan handphone dari kantong depan jins-nya, menghubungi sebuah nomor. Tak aktif. Lalu satu nomor yang lain. Nomor istimewa. Cukup dengan menekan shortcut tombol 1 di keypad dan akan segera tersambung.
Seseorang di seberang menyapa. Suara orang baru bangun tidur.
“…”
“Halo… Nong. Eh sori... Tidur ya? Mmm.. sori, tidur saja lagi. Sori… Apa? Tak apa-apa. Tak ada yang penting kok. Barusan aku nelpon Ibeng tapi tak aktif. Lagi kerja dia, mungkin…”
“…”
“Kenapa? Nggak tau kerja apaan, tapi biasanya emang sering dia matiin. Udah, nggak apa-apa kok. Tidur aja lagi… Kenapa? Aku? Aku di angkot sekarang…”
“…”
“Benar boleh? Oke, thanks, aku ke situ. Kamu selesai mandi, aku sudah di ruang tamumu. Assalamualaikum.”
Elang mematikan hp-nya sambil senyum-senyum sendiri. Mengingat Hanna yang selalu dia panggil Nong itu membuatnya bisa melupakan masalahnya meski hanya sebentar. Melupakan bapaknya yang sedang berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya di penjara. Melupakan kebanggaannya sebagai aktivis kampus yang runtuh seketika. Melupakan semua cibiran orang. Hanya Hanna yang bisa membuatnya tenang. Itulah gunanya seorang sahabat.
Dan dia tidak lagi senyum sendiri seperti orang gila. Seorang penumpang wanita muda yang duduk di pojok yang sejak tadi memperhatikannya, juga dia beri senyum.

---Jamuran
Teras rumah Hanna. Masih sore.
Elang duduk sendirian, menunggu Hanna yang masih mandi. Beberapa majalah otomotif terbitan lama menemaninya. Rumah Hanna tenang dan nyaman. Letaknya yang agak menjorok ke dalam, menjauhkannya dari riuh kendaraan dari jalan besar. Mengasikkan juga melihat kendaraan yang lalu lalang bergerak di kejauhan itu, seperti menonton TV yang volume-nya dimatikan.
Bosan menunggu, Elang berdiri mengamati pot-pot bunga yang tergantung seperti tirai. Ada beberapa tanaman merambat yang sulurnya menjuntai turun hampir menyentuh tanah.
Elang teringat pada sebuah tanaman dalam pot yang dia taruh di samping kamarnya. Oleh-oleh seorang kawan dari Aceh. Wangi sekali di malam hari. Tapi hanya bertahan beberapa minggu karena ayahnya, Pak Kastro Suratman, keburu menemukannya dan menyiramnya dengan minyak tanah. Cannabis Sativa tak layak hidup di tengah-tengah keluarga, kata Pak Kastro Suratman waktu itu sambil menenteng jerigen.
“Sori, sudah lama?”
Hanna tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya, mengenakan t-shirt yang agak kedodoran. Rambutnya belum kering benar. Tapi tetap tampak indah belaka. Perempuan berambut basah memang selalu tampak lebih cantik. Setidaknya begitulah di mata Elang.
“Sudah lama, Bos?” Hanna mengulang.
“Baru dua hari,” kata Elang bercanda, berusaha menutupi perasaan takjub yang muncul tiba-tiba.
Hanna tersenyum.
“Kok belum jamuran?”
Seperti Teletubbies

Angin sore bertiup lewat jendela yang terbuka. Di dalam kamarnya, Elang duduk meringkuk di sudut. Tak berbaju, hanya bercelana jins yang dipotong selutut. Di dekatnya puntung rokok bertumpuk di asbak. Satu lagi masih menyala di tangannya.
Setelah beberapa kali ketukan, pintu kamarnya terbuka, ibunya dan adik perempuan semata wayangnya sudah berdiri di situ.
“Rokokmu itu dikurangilah sedikit…”
“Sudah kurang ini, Bu. Tadi tidak sepanjang ini.” Elang menunjuk bara api yang sedikit lagi mencapai puntung.
“Masih belum bisa juga kau mengasihani paru-parumu,” kata ibunya, lebih mirip keluhan. Perempuan yang rambutnya mulai ada helai-helai putih itu melangkah masuk ke kamar Elang dan melebarkan bukaan jendela. Angin masuk leluasa, terasa lembab dan dingin. Hujan sepertinya akan turun lagi.
Anak muda itu meminta dalam hati, “Turunkan hujan, Tuhan. Biar ada alasan hari ini.”
“Ibu mau menjenguk Bapak, sama Rara. Kamu ikut ya…”
Elang memandangi Rara yang masih berdiri di pintu, mata adiknya itu berkaca-kaca. Dia masih memakai baju seragam sekolahnya.
“Jangan diganggu dulu, Bu. Biarkan saja dulu Bapak bergaul dengan teman-teman barunya di sana.”
“Elang, bicaramu kok begitu!” Bu Hamidah hampir berteriak. “Jelek bagaimanapun dia tetap bapakmu, orang yang menyebabkan kamu lahir.”
“Aku tak bilang tak mengakui Bapak, Bu.”
“Tapi bicaramu itu lho, dari dulu seperti itu. Orang lain boleh bicara gitu, tapi tidak anaknya. Tidak ada ceritanya kita boleh ikut-ikutan benci Bapak. Mestinya kamu kasihan, mestinya kamu sedih, mestinya kamu datang kasih semangat.”
“Aku sedih, Bu, tapi sudah tak bisa lagi nangis seperti Rara.”
Elang menunjuk Rara yang makin deras air matanya. Bu Hamidah terdiam, matanya juga kembali berair. Melihat itu, Elang merengsek meraih pundak ibunya. Perempuan itu dipeluknya dengan perasaan berkecamuk.
“Maafkan Elang, Bu. Tak ada maksud mau bikin Ibu sedih. Bukannya tak mau nengok Bapak. Elang belum siap mental, Bu. Elang tak tega liat Bapak pake seragam penjara…”. Aku-nya pun hilang. Dia menyebut namanya sendiri sebagai kata ganti diri.
Anak beranak itu makin erat berpelukan. Seperti teletubbies. Di luar tetes air mulai turun satu-satu.
Mata

Mata itu!
Elang tahu mata itu, pernah kenal baik dengan pemiliknya.
Sekelebat tatap dari balik kaca ruang senat menembus langsung ke jantungnya. Panas. Perih.
Jangan hakimi aku seperti itu, Kawan, katanya lirih, untuk dirinya sendiri. Dengan ekor mata dia menangkap bayangan teman-temannya sedang tertawa-tawa di ruangan tak seberapa besar itu. Teman-teman aktivisnya yang tempo hari selalu sama-sama turun ke jalan meneriakkan ketidakadilan dan penyimpangan. Teman-teman seperjuangannya yang seharusnya bisa jadi tempat berbagi resah, tapi kini sekadar menyapa pun ia tak berani.
Andaikata ada jalan lain untuk pulang tanpa harus lewat di depan ruangan itu, dia akan memilih jalan lain itu. Tapi hari ini dia sama sekali tak punya pilihan..
Elang mempercepat langkahnya. Bukan saat yang tepat untuk berbasa-basi.
“Tak usah terburu-buru, Kamerad. Pagi masih lama…” Elang menoleh dan mendapati pemilik mata itu sudah berdiri di belakangnya.
“Aku ada perlu, Yud. Sori, tak sempat mampir,” katanya berusaha mengelak.
“Oya? Tunggulah sebentar. Hei, Kawan-kawan!” Yudi tiba-tiba sudah berteriak kepada anak-anak di ruangan senat. “Saudara kita ini sibuk sekali sekarang, sampai tak punya waktu buat mampir.”
“Sori, Yud. Aku betul-betul ada keperluan mendadak.”
“Ngopi-ngopi dululah. Kayak bukan teman saja kita ini!” Yudi tersenyum penuh arti yang ditangkap Elang sebagai senyum kemenangan.
Elang punya cerita dengan orang ini.
Hampir setengah tahun lalu Elang mempermalukannya dengan membongkar skandal penggelapan dana penyambutan mahasiswa baru tingkat universitas yang dia lakukan. Tidak tanggung-tanggung, hampir dua puluh juta rupiah. Jumlah yang sangat besar bagi mereka yang terbiasa mengutang indomie.
Yudi merasa dikhianati, sedang Elang merasa sudah melakukan yang benar. Baginya seorang teman tetap harus diteriaki bila menyimpang. Setelah itu pertemanan mereka merenggang. Kubu aktivis kampus pun pecah. Satu kubu mendukung Elang, sedang kubu lainnya memilih pragmatis dan menganggap dana itu memang hak mereka.
Dan sekarang, setelah berita korupsi bapaknya menyebar ke seluruh kampus, Elang merasa Yudi punya alasan untuk membalas dendam.
Tak lama, beberapa anak lain sudah merubung dekat mereka berdua.
Cress!!
Mata itu! Sudah ada bara api di sana.
“Setidaknya aku tak makan sendiri itu duit!”
Rahang Elang mulai mengeras.
“Tak seberapa pula, seperseratusnya proyek bapakmu juga tak sampai.”
Tangannya sudah terkepal.
“Sudah! Sudah, Yud!” Seseorang tiba-tiba menengahi.
“Jangan ditahan, Beng. Kasih lepas dia. Biar dia puas.” Elang menukas.
“Kalian kayak orang bercinta saja, pakai menunggu puas segala.” Ibeng, pengurus senat, mulai menangkap gelagat tidak menyenangkan. Dia mencengkeram tangan Yudi, membawanya menjauh.
“Minggu lalu ada yang berkelahi, pecah itu kaca ruang senat. Kemarin baru aku ganti kacanya. Kalau hari ini pecah lagi karena kalian, tak bisa beli baru lagi. Dananya sudah habis tauk!”
“Minta sama dia. Duitnya banyak tuh!” Yudi menunjuk-nunjuk.
“Sudah, Yud! Sudah, aku bilang!”
Diperlakukan seperti itu, Elang memilih diam. “Lang, Sori. Baiknya kamu pulang saja dulu. Kamu butuh istirahat. Tenangin pikiran kamu...” Ibeng sudah berada di dekatnya lagi, merangkul bahunya.
“Ini juga mau pulang, Beng…”
Ibeng mengangkat tangannya, menjabat tangan Elang seperti orang main panco.
“Kalau nanti kamu butuh teman ngobrol, atau mau cerita apa saja, aku di tempat biasa, Bro…”
Elang mengangguk. Lalu melangkah pelan meninggalkan teman –dan bekas temannya. Dia tahu, hidupnya akan gelap setelah ini.
Nong

Gadis itu mengangkat kepalanya, mencari sumber suara. Orang yang sebenarnya tanpa dilihat pun dia sudah tahu siapa. Hanya Elang yang memanggilnya seperti itu.
“Hei!” sapanya riang ketika dilihatnya wajah di depannya. “Apa kabar?”
“Lima belas bulan, Nong. Potong masa tahanan,” kata Elang pelan, hampir tak terdengar.
“Apa itu?” tanya Hanna bingung.
Elang meletakkan selipatan koran pagi di atas meja. Hanna menutup dan menggeser buku Masih Adakah Harapan Bagi Orang Miskin karangan Amartya Sen yang sejak tadi dibacanya itu ke samping.
“Di halaman tujuh, kolom tiga.”
Hanna meraih koran itu dengan mata yang tetap memandangi Elang. Sampai Elang duduk di kursi, Hanna baru menurunkan pandangannya. Tak lama, matanya mulai menelusuri halaman yang ditunjukkan Elang.
Melihat Hanna seperti belum menemukan kolom berita yang dia maksud, Elang berdiri dari kursinya, meraih koran dengan agak kasar lalu menunjukkannya pada Hanna. Jelas sekali kelihatan kalau anak muda itu gelisah.
“Ini! Di kolom tiga, aku bilang!” katanya hampir berteriak.
“Sudah lihat…” Hanna membalas dengan tetap tenang.
Elang kembali duduk di kursinya. Garis-garis kemarahan menggurat wajahnya. Hanna membaca berita itu beberapa lama.
“Sidangnya kemarin? Bukannya kemarin kamu seharian dengan aku?”
“Sengaja nggak mau lihat.”
“Kenapa nggak ngomong?”
“Buat apa? Nggak ada pengaruhnya kan?”
“Setidaknya biar aku tahu.”
Elang terdiam, mulai melunak. Hanna memandangi sahabatnya itu dengan tatapan prihatin yang hati-hati. Dia tahu Elang tidak suka dikasihani.
Hanna mengenal Elang dengan baik, dari sejak awal mereka menginjakkan kaki di kampus ini. Mereka bertemu di gedung PKM, tempat mahasiswa-mahasiswa menyalurkan kegemarannya di luar jam kuliah. Waktu itu Elang masih gundul sehabis ospek, dan Hanna sedang menjalani orientasi agar bisa diterima di Unit Kegiatan Pecinta Alam. Belakangan Elang juga ikut bergabung di unit lain, Unit Pers Mahasiswa. Masih di gedung yang sama, hanya beda lantai. Elang di lantai bawah, sedang Hanna di lantai atas. Meski beda fakultas –Elang di Komunikasi, dan Hanna di Teknik Elektro—mereka berdua sering menyempatkan untuk jalan sama-sama.

“Habislah aku sekarang, Nong. Dia sudah bikin malu kami sekeluarga! Anjing…” Elang merapatkan kepalanya ke meja. Putus asa. Satu kata terakhir itu diucapkannya mirip desisan.
“Kamu makin jago memaki ya? Bapakmu tuh…”
“Biar saja. Dia sudah merusak masa depanku!”
“Memangnya kamu punya?” Hanna menanggapi kemarahan Elang dengan bercanda.
“Nggak lagi sejak hari ini.”
Hanna terdiam seketika, seperti menyesali kelakar yang telanjur keluar dari mulutnya. Dia tertunduk dan pura-pura menyimak koran di tangannya.
“Hari ini juga dia dipindahkan ke LP. Lengkap sudah aku sekarang. Setelah anak koruptor, gelarku nambah lagi jadi anak napi. Besok-besok anak buronon, mungkin…”
“Jangan begitu, Lang. Fatalis itu namanya. Dunia tidak runtuh hanya karena bapakmu masuk penjara.”
Elang mengangkat wajahnya menantang mata Hanna, seolah ingin menembusnya.
“Hei, Mama Dedeh!” Elang menyebut nama seorang penceramah wanita yang sering muncul di TV. ”Kamu bisa bilang begitu karena bukan kamu yang mengalami. Habis ini, berani taruhan, satu kampus sudah pada tahu. Aku tak siap menghadapi itu. Aku tak berani jalan, bahkan dari sini ke fakultas. Semua orang akan menghakimiku. Semua orang akan nunjuk ke mukaku, ‘Wah, ini dia aktivis mahasiswa itu, bapaknya korup ternyata!’. Aku yang sering teriak-teriak menuntut transparansi di kampus ini, ternyata punya bapak maling uang rakyat. Kalau kamu jadi aku, kamu pasti sudah nangis.”
Hanna diam, menunggu Elang melanjutkan kalimatnya. Mata anak muda itu mulai berkaca-kaca, tapi ditahannya agar air bening itu tak meluncur jatuh. Dia tak ingin kelihatan cengeng di depan Hanna.
“Bias jender melulu kamu ini...” sindiran Hanna membuat Elang melongo. Elang tahu apa yang Hanna maksud.
Tanpa sadar dia sering menganggap Hanna lemah, padahal bisa jadi gadis itu lebih tangguh dibanding dirinya, terutama jika pendakian gunung atau penelusuran gua yang jadi ukurannya. Elang tahu Hanna telah menelusuri gua dan mendaki gunung sejumlah lebih dari hitungan jari sepasang tangan.
“Sori, Nong. Bukan maksudku seperti itu…”
“Ya sudahlah, nggak apa-apa kok. Hei, aku ada kuliah pagi.”
Hanna membereskan bukunya, memasukkannya ke dalam ransel. Koran yang tadi dibacanya dia kembalikan kepada Elang.
“Bawa saja,” Elang menolak, “Aku tidak hobi kliping.”
Hanna tersenyum, meraih kembali koran yang terulur itu dan memasukkannya juga ke dalam ransel.
“Nong…” Elang memanggil di sela-sela kesibukan Hanna.
“Hmm?”
“Aku ikut kelasmu ya?”
“Untuk apa?”
“Biasanya juga kamu nggak pernah nanya.”
“Ini kelas kecil, beda sama yang biasa. Dosennya galak. Khawatir saja kamu ketahuan terus diusir.”
“Tak apa-apa. Masih lebih baik daripada muncul di fakultasku.”
“Ya terserah. Tapi kalau ada apa-apa, jangan ngaku temanku ya!”
Elang mengangkat tangan kanannya tanda setuju. Menyusup ke ruang kuliah masing-masing adalah salah satu kebiasaan aneh yang sering mereka lakukan. Terutama bila salah seorang punya masalah dan yang lainnya tak tega meninggalkan.
Setelah membayar di kasir, mereka berjalan meninggalkan kantin. Kampus mulai ramai. Mahasiswa-mahasiswa yang dosennya belum datang tampak bergerombol di depan ruang kuliah masing-masing. Dari kantin Jasper ke ruang kuliah Hanna masih harus melewati dua fakultas. Lumayan jauh bila lewat jalan besar, tapi kalau lewat koridor antar fakultas hanya butuh waktu paling lama sepuluh menit.
Kali ini Elang benar-benar jadi pendiam. Tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Di kepalanya terbayang wajah bapaknya, dan itu sudah cukup untuk membuatnya jadi pendiam. Baru ketika melintas di depan ruang TPB MIPA, Elang kembali buka mulut, dengan sesungging senyum untuk pertama kalinya pagi ini.
“Sori, mungkin otakku memang lagi butek banget, sampai nggak sadar kalo benda itu sudah nangkring dari tadi.” Elang menunjuk kacamata bergagang perak di wajah Hanna. “Sejak kapan?”
“Baru aku pakai hari ini.”
“Buat gaya-gayaan?”
“Sialan. Ini min tau!
“Oya? Berapa? Kok aku nggak tau?”
“Aku juga baru sadar. Iseng periksa ke dokter, karena mulai susah mengenali orang dari jauh. Tau-tau disuruh pake. Yang kiri dua, kanan dua setengah. ”
“Memangnya tak kau rasa selama ini?”
Hanna menggeleng.
“Ini teguran, mungkin…” kata Hanna menutup pembicaran. Elang juga tidak melanjutkan walaupun masih banyak tanya di kepalanya.
Beberapa puluh meter lagi, ruang kuliah Hanna sudah tampak di depan mata.
Elang

Kampus Universitas Tamalanrea, Makassar. Pagi sehabis hujan. Awal tahun 2002.
Udara dingin terasa menusuk tulang. Jalanan masih basah, menggenang kecil di sana-sini. Burung-burung bernyanyi riang, berlompatan di ranting pepohonan, bermandi sisa-sisa embun. Suaranya bersahutan-sahutan, sesekali ditimpa decit ban mikrolet kampus yang berhenti di perempatan, menurunkan mahasiswa-mahasiswa yang mengejar kuliah pagi.
Itu perempatan yang ada jam besarnya di tengah-tengah, sumbangan dari sebuah bank swasta. Tahun lalu bank itu membuka cabang di dalam kampus, dan sebagai imbalannya mereka boleh membangun tugu yang dipasangi jam besar di ketiga sisinya. Berguna untuk menyiksa mahasiswa yang tak punya keahlian bangun pagi.
Perempatan ramai yang menjadi pusat lalu lalang mahasiswa semua fakultas. Ke utara adalah jalan menuju kampus Fakultas Hukum dan gedung penelitian. Bila terus ke barat akan menemui Fakultas Sospol dan Ekonomi setelah melewati Fakultas Teknik yang banyak gambar tengkoraknya. Ke selatan berarti menuju gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, Fakultas Perikanan, Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan kampus Politeknik. Ke timur jalur berbalik arah ke pintu gerbang kampus, Pintu Satu namanya. Sedang pintu keluarnya disepakati sebagai Pintu Dua, tepat di depan Rumah Sakit Wahidin dan asrama mahasiswa Wesabbe. Berbeda dengan Pintu Satu, di Pintu Dua siang malam tak pernah sepi. Selalu ada banyak pedagang kaki lima yang mangkal menjual apa saja. Bagi sebagian mahasiswa, tempat ini adalah wonderland, karena meski tak punya uang sekalipun, selalu ada saja sesuatu yang bisa mengganjal perut.
Di tengah-tengah kampus ada dua kantin yang dikelola universitas, satu di area Fakultas Teknik, namanya kantin Jasbog Teknik. Satu lagi di Fakultas Pertanian, namanya kantin Jasper, singkatan Jasbog Pertanian. Kata jasbog itu juga singkatan dari jasa boga, singkatan yang disingkat. Kantin Jasper ini paling ramai dikunjungi mahasiswa, bahkan oleh mahasiswa Ekonomi dan Sospol yang letaknya paling ujung. Penyebabnya yang paling masuk akal adalah karena mahasiswi-mahasiswi Fakultas Kedokteran yang terkenal cantik itu juga banyak yang sering nongkrong di kantin ini.
Tapi di sepagi ini tentu saja masih sepi, gerai warung belum banyak yang buka, hanya ada seorang mahasiswi yang duduk di pojok menekuri bukunya, dan bukan mahasiswi Kedokteran. Di atas meja, segelas capucino panas meruap-ruap menantang udara dingin. Di kursi seberangnya ada ransel hitam yang penuh gantungan kunci dan tali prusik, seolah-olah jadi teman ngobrolnya.

Teman-temannya di kelompok pecinta alam memanggilnya Kecil, merujuk pada tubuhnya yang memang mungil untuk ukuran mahasiswi. Dengan tinggi 150 centimeter dan berat 43 kilogram itu, belum ada seorang pun yang tega menyapanya, “Hei, Besar! Dari mana saja?”
Di absen administrasi namanya tertulis Hanna Permatasari, sehingga oleh teman kuliahnya kadang-kadang dipanggil Hanna atau Sari saja. Tapi hanya ada satu orang yang memanggilnya:
“Nong.”
Prolog

Namaku Elang Silmi Kaffah. Semua ada hikmahnya. Betapa sering aku mendengar kalimat itu diucapkan. Terutama ketika PSSI kalah melulu bertanding sepakbola. Aku tidak suka. Seolah-olah hidup hanya persoalan mengumpulkan hikmah. Dan kita harus tetap tabah menerima penderitaan.

Ayahku seorang penista agama. Dia koruptor. Mungkin dia pikir malaikat pencatat dosa mau memberinya kompensasi jika memberiku nama itu. Silmi Kaffah. Islam yang sebenar-benarnya. Aku juga baru tahu artinya setelah 28 tahun menyandang nama itu dengan gelap. Sahabatku, Karen, yang kasih tahu.

Pagi ini aku turun gunung. Sebenarnya sudah dari kemarin jika dihitung dari langkah turun pertama. Tapi tadi malam aku terdampar di Lengkese, jadi baru aku hitung turun hari ini. Lengkese desa yang samar-samar pernah aku dengar karena beberapa warganya menolak direlokasi pada saat bencana tanah longsor terjadi di Gunung Bawakaraeng tahun 2006. Orang-orang desa yang mengingatkanku pada Mbah Maridjan. Dulu Mbah Maridjan juga menolak turun dari Merapi ketika gunung itu dinyatakan siaga meletus oleh pemerintah. Dan Mbah Maridjan menang, lalu jadi bintang iklan minuman berenergi, bareng Chris John. Merapi memang tidak pernah ingkar janji. Dia menabung letusannya. Bencana justru datang dari pantai selatan.

Sebentar lagi aku akan mencapai kota kecamatan. Dari sana aku akan menyambung angkot menuju ibukota kabupaten. Angkot di sini disebut pete-pete, morfologi bunyi uang receh. Lazim dengan formasi 6+4+1: 6 penumpang di kanan, 4 penumpang di kiri, plus 1 penumpang di bangku moderator, bangku tambahan yang ditaruh di tengah menghadap kepada segenap hadirin penumpang. Di Bandung aku pernah naik angkot formasi 7+5+1. Dari rumah pacarku di Palasari. Di Jakarta, tempatku tinggal mencari nafkah selama lima tahun ini, belum pernah sekalipun aku naik angkot jenis Suzuki Carry atau Daihatsu Zebra. Aku lebih sering naik Kopaja atau Metromini yang asapnya bisa bikin kacau tata niaga karbon dunia.

Lupakan tentang angkot. Tak perlulah itu kita bahas. Sebelum kamu tanya, aku akan ceritakan kenapa aku ada di sini. Satu jam selisih waktu dari tempat sehari-hari kau bisa menemuiku dan memakai jasaku. Ini urusan pribadi. Besok aku akan menemui ayahku di tempatnya dididik untuk kembali bermasyarakat. Lembaga Pemasyarakatan namanya. Aku lebih suka menyebutnya penjara.

Empat hari lalu, setibanya di Bandara Hasanuddin dari Jakarta, aku segera melesat ke Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Dari Sungguminasa aku bersiap-siap. Dan malam itu juga aku naik ke Gunung Bawakaraeng. 3054 meter dari permukaan permukaan laut. Hanna sudah menungguku, di salah satu jurangnya.

Tapi bagaimana aku bisa hingga sejauh ini, tak bisa aku ceritakan banyak. Aku kedinginan. Biarlah kawanku yang akan menceritakannya kepadamu. Kawanku yang tak perlu kau tahu namanya. Dia seorang tukang cerita, mencari nafkah dari menjual kisah-kisah dan mengharapkanmu untuk percaya. Kisah-kisah yang katanya penuh hikmah, dia ceritakan berbusa-busa hingga kau sadar bahwa hikmah itu sesungguhnya adalah tak lebih dari sekedar nama seseorang. Hikmah? Hikmah tetanggamu! Begitu kata kawanku yang lain. Kawan kami.